Berilah Tumpangan!

1 Petrus 4:7-11
Minggu ke-12 sesudah Pentakosta
Pada tahun 70 M, Bait Allah di Yerusalem dihancurkan oleh kekaisaran Romawi. Hidup jemaat dipenuhi dengan berbagai kesengsaraan. Petrus, yang melihat semua kejadian itu sebagai waktu kedatangan Tuhan sudah dekat, justru menasihati jemaat Kristus untuk tetap tenang dan berdoa (7).
Viktor Frankl, seorang neurolog dan psikiater yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi di Jerman, mengamati bahwa kerohanian yang mendalam dapat muncul dalam kenyataan pada kamp konsentrasi Nazi yang mematikan. Sebab, dalam kesengsaraan yang berat Frankl mampu menyelami kondisi jiwanya lebih mendalam. Hal yang sama juga dilakukan oleh Petrus. Dia mendorong agar jemaat saling mengasihi dan melayani dengan kekuatan dari Allah, bukan ketika Gereja dalam kondisi aman dan tenteram, melainkan saat banyak kesengsaraan.
Dalam hal ini, Petrus tidak berbicara tentang kasih hanya sebatas teori belaka. Ia memberikan nasihat yang sangat konkret, yakni memberikan tumpangan (9). Dalam dunia kuno, jika seseorang memberikan tumpangan kepada orang asing, maka tindakannya dianggap sebagai kebaikan moral yang sangat tinggi. Sehingga ketika orang yang bermalam menerima perlakuan jahat seperti di Sodom (Kej. 19) atau pada suku Benyamin (Hak. 19), maka kisah itu menjadi sangat menggemparkan. Sebaliknya, kisah Rahab yang menjamu pengintai Israel (Yos. 2:1-21) atau perempuan Sunem yang menjamu Elisa (2Raj. 4:8-10) merupakan contoh kebaikan moral yang tinggi. Ibrani 13:2 mengatakan bahwa ketika memberi tumpangan bisa saja tanpa sadar orang percaya sedang menjamu malaikat.
Memang kesengsaraan dan kesusahan hidup bisa datang tiba-tiba dan di luar kontrol kita. Namun, kita dapat selalu bergantung kepada Allah untuk tetap tenang, berdoa, dan saling melayani. Saat umat Tuhan saling mengasihi, maka Allah sungguh-sungguh hadir di tengah umat-Nya.
Doa: Ajar kami Tuhan untuk menjamu orang-orang yang datang di tengah-tengah kesulitan hidup. [IM]
Ihan Martoyo
Scripture Union Indonesia © 2017.