Percaya tanpa Melihat Tanda

Lukas 23:8-12
Minggu Pra Paskah 6



Terkadang, sebuah tanda bisa meneguhkan keyakinan kita. Misalnya, cincin adalah tanda sayang kita kepada pasangan karena mencintainya. Namun, apakah prinsip ini juga berlaku dalam persoalan iman? Apakah iman harus diteguhkan dengan tanda atau mukjizat?

Herodes akhirnya bertemu dengan Yesus. Ia bergirang karena sudah sejak lama ingin bertemu dengan-Nya (lih. Luk. 23:8). Ia ingin menyaksikan sendiri bagaimana Yesus membuat tanda (8). Mungkin ia merasa Yesus seperti tukang sulap yang bisa menghiburnya. Sayangnya, harapan itu kandas. Jangankan membuat tanda, menjawab pertanyaannya pun Yesus enggan (9). Harapan untuk menonton hiburan pun pupus dan berganti menjadi kemarahan.

Sebagai seorang penguasa, ia mungkin sakit hati karena diperlakukan begitu. Alhasil, ia membalas perlakuan Yesus. Pertama, ia mengolok-olok dan menista-Nya. Kedua, ia memakaikan jubah ke tubuh-Nya sebagai simbol ejekan bahwa Yesus adalah raja (11).

Herodes tidak menemukan kesalahan. Namun, ia juga tidak mau membebaskan Yesus. Ia malah memilih mengirim-Nya kembali kepada Pilatus (11).

Inilah ketidakadilan sekaligus sikap arogansi penguasa. Demi melanggengkan kekuasaan, ia melemparkan masalah kepada orang lain.

Namun demikian, Alkitab mencatat, dengan mengirim Yesus kembali ke Pilatus rekonsiliasi terjadi bagi kedua pejabat tersebut (12). Mereka yang dahulu bermusuhan pun, permusuhannya mencair dan berubah menjadi “sahabat”. Perlu diketahui bahwa dalam politik tidak ada sahabat, yang ada hanyalah kepentingan.

Masalah iman adalah masalah kepercayaan, tanpa harus disertai tanda, apalagi mukjizat. Jangan sampai iman kita kepada Tuhan tumbuh hanya karena kita mendapat berbagai macam tanda dan mukjizat. Hal seperti ini berbahaya sebab akan membuat kita menjadi seperti Herodes yang mengejek bahkan tidak memercayai-Nya. Iman yang benar adalah percaya sekalipun tidak melihat (Ibr. 11:1). Jadi, percayalah tanpa harus melihat tanda atau mukjizat. [SGP]
Scripture Union Indonesia © 2017.