Putusan Sepihak Tanpa Keadilan

Lukas 22:63-71
Minggu Pra Paskah 5



Dalam sejarah peradilan, di mana pun itu, selalu diwarnai peristiwa kelam, jika hal itu berkaitan dengan politik dan kekuasaan. Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat bagi seseorang untuk mencari keadilan, terkadang menjadi tempat di mana praktik ketidakadilan dilegalkan. Hal itu tampak pada kasus Yesus. “Jikalau Engkau adalah Mesias, katakanlah kepada kami, ” (67). Mahkamah Agama mencoba menjebak Yesus dengan pernyataan itu. Sebenarnya, mereka hanya ingin mencari kesalahan Yesus. Sebab, kalau Yesus menjawab, “Iya!”, Ia akan dituding menistakan agama atau memberontak kepada pemerintahan Roma. Kalau, “Tidak!”, maka semua pekerjaan Yesus selama ini adalah omong kosong belaka.

Atas pertanyaan itu, Yesus pun menjawab, “Sekalipun Aku mengatakannya kepada kamu, namun kamu tidak akan percaya” (67). Para penuntut Yesus kemudian merespons, “Untuk apa kita perlu kesaksian lagi? Kita ini telah mendengarnya dari mulut-Nya sendiri” (71). Proses pengadilan terhadap Yesus memang tidak adil karena digiring opini dan pertanyaan jebakan, bukan kebenaran. Apalagi, Dewan Sanhedrin, dewan tertinggi agama Yahudi (yang berjumlah tujuh puluh satu orang) mengambil keputusan secara sepihak. Mereka beranggapan bahwa Yesus dapat merusak adat dan tatanan keagamaan Yahudi karena memproklamasikan diri sebagai Mesias. Jadi, mereka memvonis Yesus dengan dihukum mati.

Jika manusia menggunakan agama sebagai pembenaran, itu adalah kejahatan besar dan berbahaya. Artinya, agama dipakai sebagai dalil pembenaran sehingga kehilangan maknanya. Atas nama agama, kita (Gereja) pun sering disudutkan dan harus menderita karenanya. Sayangnya, bukannya dibela, kita malah kerap dijadikan sebagai pihak yang bersalah. Oleh karena itu, kalaupun kelak kita mengalami ketidakadilan, ingatlah kepada Yesus yang sudah merasakannya terlebih dahulu, dan belajarlah menghadapinya. [SGP]
Scripture Union Indonesia © 2017.