Ibadah yang pantas

1Timotius 2:8-15

Apakah jemaat masih bisa beribadah bila ada kubu-kubu yang saling
bermusuhan di antara mereka? Kalau kita jujur dengan diri
sendiri, jawabannya tentu, bisa saja! Dan kenyataannya, kondisi
seperti inilah yang kerap kita alami.


Realitas ini pun terjadi di tengah jemaat yang dilayani Timotius.
Jemaat dikacaukan oleh ajaran-ajaran lain (lih. 1:3, 6:3), yang
buahnya adalah silat kata, curiga, pertengkaran, dll. Tak hanya
itu, berbagai ajaran lain itu menuntut penerapan yang tak sejalan
dengan pemberitaan Injil, misalnya larangan untuk kawin, larangan
untuk makan makanan yang baik (4:3-4), dll. Efek lain dari
ajaran-ajaran tersebut adalah kekacauan yang timbul di dalam
ibadah. Kaum laki-laki beribadah tanpa merasa risi bila beberapa
saat sebelumnya mereka saling berselisih (8). Kaum wanita
mendapatkan sorotan lebih tajam. Mereka memamer-mamerkan
perhiasan mereka pada saat beribadah. Parahnya, sebagian dari
mereka bahkan berupaya merebut posisi pengajaran dari para
pengajar jemaat dan dengan demikian malah menyebarluaskan ajaran
yang tidak sehat (12, bdk. 2Tim. 3:16).


Paulus memberikan koreksi yang tegas dan drastis untuk mengatasi
permasalahan ini. Misalnya, kaum wanita diminta untuk berhenti
mengajar, bukan cuma berhenti mengajar laki-laki! Inilah makna
yang diusung oleh susunan kata dalam bahasa Yunani nas ini
sebagaimana tercermin dalam Alkitab Terjemahan Baru. Perbandingan
dengan Tit. 2:3-5 menuntun kita untuk memahami teks ini secara
kontekstual. Mereka tidak boleh menempatkan diri sebagai otoritas
yang mengatasi pria, apalagi bila ini didasari pada ajaran yang
salah. Paulus mengutip Kejadian 2 untuk mengingatkan mereka
kembali kepada apa yang dikatakan oleh firman. Semua ini
dimaksudkan untuk membawa jemaat, baik pria maupun wanita,
kembali kepada kerendahan hati sebagai unsur vital bagi
terlaksananya ibadah yang berkenan bagi Tuhan.


Renungkan: Perselisihan dan penonjolan diri di antara kita
adalah \'musuh\' ibadah kita.

Scripture Union Indonesia © 2017.