Air Susu Dibalas dengan Air Tuba

Kejadian 31:1-21
Minggu ke-6 sesudah Pentakosta
Kerap kali perbuatan baik mendatangkan kejahatan sebagai imbalannya. Kedermawanan sering kali dibalas dengan kekikiran.
Yakub kurang lebih mengalami situasi seperti itu. Ia hidup bersama Laban, mertuanya, bertahun-tahun lamanya. Dia bekerja sangat giat untuknya. Namun, apa yang terjadi? Bukan penghargaan yang didapat, malahan kecurangan yang diterimanya.
Rupanya Laban terhasut perkataan anak-anaknya. Mereka iri melihat kekayaan Yakub yang kian hari bertambah banyak. Mereka menuduh Yakub mengambil harta milik mereka (1). Laban pun marah. Itu terlihat dari raut mukanya yang tidak seperti biasanya (2).
Merasa situasi mulai berbeda, Yakub berencana menyingkir. Lea dan Rahel, istri Yakub, menerima keputusan itu tanpa syarat.
Keputusan itu punya alasan yang jelas. Ternyata Laban memperlakukan mereka bukan seperti anak kandung sendiri, melainkan seperti orang asing (15). Kalau sudah seperti ini, untuk apa lagi bertahan?
Mungkin, kita sering kali memadankan orang yang menyingkir sebagai yang tersingkir. Namun, ini tidak berlaku bagi Yakub. Dia pergi karena tidak ingin bertengkar dengan Laban. Ia memilih menyingkir semata-mata untuk belajar setia dan taat pada perintah Tuhan.
Bisa dipastikan kita sulit menerima perbuatan yang merugikan. Acap kali kita selalu menghitung untung dan rugi. Bahkan, pada saat kita berbuat baik pun, mungkin terselip harapan untuk mendapatkan imbalan. Namun, kehidupan tidak selalu seperti itu. Ada kalanya, kita menabur kebaikan, malah menuai kezaliman.
Lalu, bagaimana kita harus bersikap? Apakah kita harus marah, jengkel, dan balik membalas?
Kita semestinya meneladani Yakub. Dia tak memusingkan persoalan dengan melampiaskan bara amarah. Sebaliknya, dia memilih untuk tunduk pada perintah Tuhan. Alih-alih balas dendam, dia memilih menyingkir. Tetapi, ini bukan tanda kelemahan, tetapi bukti ketaatan.
Doa: Tuhan ajar kami untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. [SP]
Sugeng Prihadi
Scripture Union Indonesia © 2017.