Milikku = milik Allah?

Ayub 1:6-22

Dalam pandangan Iblis, kesalehan manusia bagaikan omong kosong. Bagi Iblis, manusia hanya taat kepada Allah karena ada pamrih, yaitu bila mendapatkan segala sesuatu yang dia inginkan. Bila tidak, tentu manusia tidak akan menyia-nyiakan waktunya bagi Allah. Pandangan tersebut kemudian diajukan Iblis kepada Allah sebagai gugatan untuk mencabut semua "fasilitas kelas satu" yang sudah dimiliki Ayub sebagai sebuah ujian bagi iman Ayub. Dan Allah setuju (6-12).


Dalam waktu yang hampir bersamaan, Ayub kehilangan seluruh miliknya. Ribuan hewan ternaknya dirampas (13-17). Seolah masih belum cukup, kesepuluh anaknya tewas secara mengenaskan dalam bencana saat mereka berpesta (18-19). Siapakah orang yang tak hancur hati mengalami situasi demikian? Katakanlah harta masih dapat dicari, tetapi anak-anak yang selama ini begitu dia kasihi? Maka tak heran bila Ayub mengoyak jubah dan mencukur kepala sebagai tanda duka citanya (20).


Mari kita kembali pada gugatan Iblis terhadap Ayub. Dalam masalah berat yang Ayub hadapi, adakah ia meninggalkan Allah? Ayat 22 jelas menyatakan bahwa "Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut."


Cara pandang manusia terhadap kepemilikan sangat berpengaruh terhadap respons ketika miliknya itu diambil. Tentu tak salah bila kehilangan harta benda bagai sebuah pukulan, atau kehilangan anggota keluarga bagai rusaknya tatanan hidup, dan kehilangan keduanya bagai langit runtuh. Ayub sendiri berduka dan ia jelas menyatakan perasaan dukanya. Namun imannya merespons secara mengagumkan. Ayub sadar bahwa semua yang ia miliki adalah pemberian Tuhan dan karena itu, ia patut menerima bila Tuhan ingin mengambil semua itu kembali (21).


Sampai sedemikian dalamkah pemahaman kita akan segala sesuatu yang kita miliki? Bila Tuhan mengambil semuanya sekaligus, bagaimana kira-kira respons Anda? Akankah Anda berkata, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan"?

Scripture Union Indonesia © 2017.