Bergumul dengan kefanaan

Mazmur 39

Pernah frustasi terhadap diri sendiri? Mungkin karena karakter tertentu yang kita ingin buang, tetapi sepertinya sulit untuk kita singkirkan. Mungkin dosa tertentu yang menjerat kita. Kita sadar hidup kita tidak kudus, namun kita tak berdaya, bahkan doa-doa kita sepertinya tidak memberi dampak perubahan dalam kerohanian kita.


Pemazmur sadar akan hidupnya yang fana. Di satu sisi, ia hidup di tengah-tengah orang fasik. Ia sadar ia tidak sama dengan mereka dan tidak boleh menjadi sama dengan mereka. Akan tetapi ia sadar kedagingannya bergejolak. Maka ia memilih berdiam diri (2-3), tidak mau membalas ajakan orang fasik untuk ikut-ikutan berdosa. Atau juga terhadap ejekan dari orang fasik yang menertawakan upayanya untuk hidup kudus. Di pihak lain, ia berhadapan dengan Allah yang maha kudus yang tidak dapat membiarkan umat-Nya hidup dalam dosa. Ia sadar kalau Allah bertindak menguduskan umat-Nya berarti akan ada hajaran, disiplin yang keras! Sungguh ia merasa tidak sanggup untuk menghadapi-Nya (11-12).


Pergumulan pemazmur di sini senada dengan yang digumuli Paulus di Roma 7:13-24. Tubuh sudah menjadi milik Kristus, tetapi masih dipengaruhi oleh kedagingan. Suatu paradoks yang menyakitkan! Rasanya munafik. Di hadapan manusia bisa menyembunyikan diri dengan topeng-topeng. Di hadapan Allah, semua telanjang, terbuka apa adanya. Seruan puncak Paulus adalah "Aku manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?" (Rm. 7:24).


Iman pemazmur ditujukan kepada Tuhan. Ia belajar berserah kepada Tuhan. Pemazmur bagaikan pendatang atau penumpang yang hanya berharap keramahtamahan dan belas kasih dari tuan rumah, demikian pemazmur di hadapan Allah (13). Bersama Paulus kita bisa berseru, "Syukur kepada Allah, oleh Yesus Kristus, Tuhan kita." (Rm. 7:25). Dialah yang akan membebaskan kita dari tubuh maut ini.

Scripture Union Indonesia © 2017.