Kisah penutup perjalanan Yesus menuju Yerusalem ini memberikan
kepada kita beberapa pelajaran penting. Pertama, di tengah
pergumulan Yesus naik ke Yerusalem untuk menderita, hati-Nya
tetap penuh belas kasih pada penderitaan orang lain (ayat 34).
Yesus fokus pada tujuan-Nya melayani untuk keselamatan manusia.
Kedua orang buta ini memerlukan pelayanan-Nya.
Kedua, kedua orang buta ini juga memiliki fokus iman kepada Yesus
yang tidak tergoyahkan oleh teguran orang banyak yang menyuruh
mereka diam. Konsep siapa Yesus bagi mereka mungkin sama
salahnya dengan pengharapan Yahudi akan Mesias politik. Seruan
mereka, "Tuhan, Anak Daud, kasihanilah kami" (ayat 30, 31)
menunjukkan hal tersebut (lih. renungan 25 Januari 2010). Di
sini kita belajar, Tuhan menerima iman awal mereka yang polos
dan kurang tepat secara teologis dan memberkati mereka dengan
kesembuhan.
Ketiga, Matius menaruh perikop ini segera sesudah perikop para murid
memperebutkan posisi di samping Yesus untuk mengontraskan "buta"
rohani mereka dengan "celik" rohani dua orang buta tersebut.
Fokus para murid bukan pada Yesus, melainkan pada diri sendiri.
Sebaliknya fokus orang buta itu pada Yesus. Pada saat yang sama
orang banyak yang mengiring Yesus pun "buta" rohani juga.
Merekalah yang menghalang-halangi kedua orang buta tersebut
bertemu Yesus.
Jangan kita merasa hebat hanya karena memiliki pengetahuan iman yang
benar, doktrin yang solid, dan teologi yang akurat. Yang harus
kita periksa dalam diri kita apakah fokus kita pada Tuhan Yesus
atau pada diri sendiri. Jangan sampai Tuhan mempermalukan kita
dengan orang-orang yang mungkin secara doktrinal tidak tepat,
yang iman mereka lebih dikendalikan pengalaman mereka, bukan
kebenaran firman namun, hidup mereka sangat fokus pada Tuhan.
Mereka harus bertumbuh dalam kebenaran, tetapi kita harus
belajar memfokuskan iman kita pada Tuhan!