Ibarat padi semakin berisi semakin tunduk, demikianlah orang
yang semakin pintar semakin rendah hati. Prinsip yang sama
seharusnya berlaku pada para hamba Tuhan. Semakin banyak
dipercaya melayani, seharusnya semakin rendah hati untuk belajar
agar dapat melayani dengan lebih baik. Sayangnya, tidak banyak
pemimpin Kristen yang mau diajar karena merasa gengsi dan sudah
tahu segala sesuatu.
Jarang kita jumpai pemimpin seperti Apolos. Ia seorang terpelajar
akan agama Yahudi dari Aleksandria. Waktu itu, kota Aleksandria
merupakan pusat agama Yahudi di Mesir. Apolos menguasai
Perjanjian Lama dengan baik dan ia pandai mengajar (ayat 24).
Setelah menjadi Kristen, ia dengan bersemangat mengabarkan Injil
kepada orang-orang Yahudi (ayat 25). Ia seorang pemimpin yang
cemerlang. Namun, Apolos juga rendah hati. Ia bersedia diajar
oleh Priskila dan Akwila, pemimpin umat di Efesus, supaya
semakin mengenal kebenaran. Bukan hanya bersedia diajar, ia juga
bersedia diutus untuk praktik pelayanan di Akhaya (Korintus)
bagaikan mahasiswa teologi yang sedang PKL (ayat 26-27).
Kesediaannya untuk diajar menghasilkan sukacita umat Tuhan. Hal
ini terbukti dengan kehadirannya yang menjadi berkat bagi jemaat
Korintus. Dengan bekal pengajaran yang benar dan dengan penuh
semangat Apolos mengajar dan memberitakan Injil kepada
orang-orang Yahudi (ayat 28).
Sikap rendah hati dan mau belajar adalah kunci pertumbuhan rohani
anak Tuhan agar dapat dipakai-Nya memberitakan kebenaran. Gereja
harus menyediakan wadah atau memberi kesempatan bagi para hamba
Tuhan untuk belajar memperlengkapi dan meningkatkan diri agar
pelayanan mereka efektif. Setiap hamba Tuhan juga harus selalu
memelihara kerinduan bersedia dibina dan diajar agar
pelayanannya mampu menjawab kebutuhan umat di dunia modern ini.
Renungkan:
Pengajar kebenaran yang efektif adalah murid Kristus yang tidak
berhenti belajar pada-Nya.