Raja atau hamba? Tuan atau jongos?

1Korintus 4:6-13
Minggu ke-13 sesudah Pentakosta

Ini dapat dijawab dengan melihat siapa saja yang ada dalam
lingkaran terdekat seseorang. Manusia cenderung untuk berusaha
akrab dengan mereka yang secara sosial sejajar, atau kalau
mungkin, lebih tinggi. Biasanya, pertemanan akrab dengan mereka
yang secara sosial lebih "rendah", apalagi "sampah", dihindari
karena berisiko menjatuhkan pamor.


Faktor sosial seperti ini adalah salah satu penyebab konflik yang
terjadi antara sebagian jemaat Korintus dengan Paulus. Mereka
menganggap Paulus yang kerap menderita (ayat 11-13), punya
kelemahan fisik ("lemah", 10; bdk. 2Kor. 12:7), dan menghidupi
diri dari pekerjaan yang relatif kasar (ayat 12) itu tidak layak
untuk tetap dekat dan melayani Korintus, jemaat yang kaya dalam
karunia dan berkat. "Tidakkah akan terasa lucu bila Injil berkat
melimpah yang jaya itu diberitakan oleh seorang malang, rendah,
lemah dan hina (ayat 9-10)?"


Paulus mengkoreksi pandangan yang salah ini dengan ironi yang
menyindir: mereka mulia sementara Paulus dan rekan-rekannya hina,
dan seterusnya (ayat 8-10). Ironi ini bertujuan menyadarkan
jemaat Korintus bahwa manusia yang rohani, menerima Roh Allah,
memiliki hikmat-Nya, dan bermegah dalam-Nya, justru adalah
manusia yang menjadi hamba. Paulus menunjukkan bahwa dalam
penderitaan dirinya dan kawan-kawannya justru lebih dekat kepada
keadaan Tuhan (bdk. 9-13 dengan Yes. 53:2b-3). Dalam keadaan
seperti yang Paulus alami, justru nyata kebenaran bahwa sungguh-
sungguh hikmat dan karya Allah adalah kebodohan bagi dunia (bdk.
dengan 1:26-29). Karena itu, seperti pada Paulus, panggilan agar
kita hidup menjadi orang-orang kudus (ayat 1:2) berarti hidup
sedemikian rupa sebagai seorang hamba dengan konsekuensi dianggap
bodoh serta hina oleh dunia.


Renungkan:
Anda juga tidak dapat melayani dua tuan, Allah dan diri Anda
ataupun kepentingan pribadi Anda. Tundukkan diri Anda sebagai
hamba, supaya Anda dapat melayani Allah dalam dunia.

Scripture Union Indonesia © 2017.