Kuasa Tertinggi Hanya dari Tuhan

Ester 3:1-7
Minggu ke-16 sesudah Pentakosta
Dalam ilmu sosial dan politik, kekuasaan dipahami sebagai kemampuan untuk memengaruhi dan mengendalikan perilaku manusia. Karena itu, kuasa perlu didampingi oleh pengetahuan yang benar dan kebijaksanaan Allah agar tidak disalahgunakan. Kalau seseorang yang memiliki kekuasaan tidak membekali dirinya dengan sikap takut akan Allah, maka ia akan dikuasai oleh kekuasaan yang dimilikinya. Ketika Haman mendapatkan kepercayaan Raja Ahasyweros, dia merasa harus dihormati semua orang. Bukan hanya itu saja, ia menuntut setiap orang harus berlutut dan sujud di hadapannya. Namun, Mordekhai tidak peduli dengan peraturan Haman. Sebab baginya hanya Allah Israel yang patut dipuji dan disembah (3-4; lih. Kel. 20:1-17; Mat. 4:10). Sikap Mordekhai dibaca oleh Haman sebagai tindakan pembangkangan. Dalam diri Haman, sakit hati dan kemarahan berubah menjadi kebencian untuk membunuh Mordekhai. Ternyata kebencian itu menguasai akal sehat Haman. Kini ia berencana melakukan pembunuhan massal (genosida) terhadap bangsa Israel (5-6). Rencananya itu terlihat bagaimana Haman berupaya menyelidiki latar belakang Mordekhai. Tindakan Haman menunjukkan bahwa dirinya sudah dikuasai oleh hawa nafsu dan keegoisannya. Sebagai orang yang dianugerahi kekuasan, sepatutnya Haman menjadi pejabat kerajaan yang bijak dengan cara mempelajari latar belakang suatu bangsa, budaya, dan agamanya. Apabila Haman dapat memahami konsep hidup orang Yahudi, seharusnya hatinya tidak panas dan murka. Sepatutnya ia memakai kekuasaannya untuk mengayomi kaum minoritas dan mengupayakan kesejahteraan mereka. Kekuasaan itu pada hakikatnya netral. Di tangan manusialah kuasa itu dapat mendatangkan kebaikan atau kehancuran bagi orang lain. Sepatutnya kita bijaksana menggunakan kekuasaan yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Dengan menghargai mereka yang ada dibawah kuasa kita, tentu saja mereka menunjukkan rasa hormat kepada atasannya.
Tri R. Wahono
Scripture Union Indonesia © 2017.