Kudus dengan empati

Keluaran 22:18-31

Tuhan memanggil umat Israel menjadi umat yang kudus. Implikasi langsungnya adalah umat Israel harus memiliki gaya hidup yang berbeda: pola hidup, pola beribadah, pola makan. Negatifnya, dalam jangka panjang perbedaan gaya hidup ini bisa membuat sekelompok manusia memandang kelompok manusia lainnya sebagai kelompok yang lebih rendah karena gaya hidup yang berbeda. Lalu bagaimana mengatasinya? Kita mendapati dua perintah yang berulang, yang Tuhan berikan kepada umat-Nya.


Pertama, sikap etis terhadap orang lain yang didasarkan pada ingatan kolektif bahwa mereka pun dulu pernah menjadi umat yang tertindas. Tuhan menghendaki agar umat-Nya berempati kepada orang-orang yang tersingkir dalam masyarakat, yaitu orang asing, janda, anak yatim, orang miskin. Kedua, sikap etis yang nyata melalui tutur kata serta sikap terhadap harta dan persembahan yang ditunjukkan oleh gaya hidup yang berbeda. Tuhan menuntut umat-Nya menjadi teladan melalui kehidupan mereka.


Ketika kita menghayati panggilan Tuhan untuk hidup secara kudus, kita perlu mengingat bahwa kekudusan yang Tuhan inginkan bukanlah kekudusan dalam wawasan yang sempit, yang memandang kekudusan sebagai keunggulan yang membedakan kita dari orang lain. Sikap demikian hanya akan membuat kita tinggi hati. Orang lain pun akan bersikap antipati terhadap kehadiran dan gaya hidup kita, sehingga menghasilkan sebuah dinding yang menghalangi mereka bertemu Tuhan melalui kehidupan kita. Sebaliknya, Tuhan menghendaki umat-Nya hidup kudus dan berempati agar melalui kekudusan yang empati itu, orang-orang di sekitar umat tertarik dan mendapati sebuah jembatan untuk berjumpa dengan Tuhan (bdk. Kis. 2:47).


Perikop hari ini mengundang kita untuk merefleksikan iman kita dalam bersikap terhadap praktik-praktik masyarakat yang tak sejalan dengan perintah Tuhan, hubungan kita dengan orang-orang yang tersingkir dari masyarakat, sikap terhadap pemerintah dan terhadap harta-benda yang Tuhan percayakan pada kita.

Scripture Union Indonesia © 2017.