Penguasaan diri dan karakter

Amsal 23:1-14

Seorang dosen saya pernah memberikan nasihat, "Kalau pergi kondangan,
jangan dengan perut kosong, sepertinya kita datang hanya untuk
makan". Maksudnya supaya jangan kelihatan \'malu-maluin\' karena
terlalu lahap makan. Menurut Anda, apakah nasihat ini bertujuan
untuk menjaga penampilan atau lebih dalam lagi kepada motivasi
kita?


Nasihat Amsal di bagian pertama perikop ini menekankan kedua hal
tersebut. Yang pertama, penguasaan diri. Di hadapan orang yang
lebih tinggi statusnya, kita harus menjaga sikap tidak mengumbar
nafsu (ayat 1-3). Kedua, pada saat yang sama motivasi untuk tidak
mengejar hal lahiriah juga ditekankan (ayat 4-5). Bukankah karena
mengejar hal-hal lahiriah seperti inilah kita sering terjebak
dengan iri hati bahkan dengki akan keberuntungan orang lain (ayat
6-8). Tidak jarang kita memutuskan untuk bersikap seperti orang
fasik agar dapat mencapai kehidupan yang berkelimpahan.


Amsal menasihati kita untuk melawan sikap mementingkan diri sendiri
dengan berpegang pada Taurat, membangun rasa peduli dan keadilan
kepada sesama manusia, terutama mereka yang tertindas (ayat
10-11, band. Ul. 27:17, 19). Izinkan Tuhan mendidik kita
mengembangkan karakter yang mulia (ayat 12). Kita juga perlu
mendidik anak-anak kita agar karakter mereka menyerupai Kristus.
Pendidikan seperti itu perlu dilakukan dengan tekun dan disiplin
(ayat 13-14). Hasilnya akan efektif bila kita sendiri rela
dibentuk oleh Tuhan terlebih dahulu, sehingga anak-anak kita
melihat teladan.


Kita sering geli campur dongkol melihat sikap \'pencuri teriak maling\'
yang dilakukan oknum, entah wakil rakyat atau juga pejabat.
Mereka mudah menuduh orang lain dan menyerukan "ganyang korupsi!"
Pada saat yang sama, mereka memakai fasilitas negara untuk
kepentingan pribadi atau golongan mereka. Jangan-jangan hal
serupa terjadi dalam hidup kita. Kita mengaku anak Tuhan,
menuding orang lain hidup dalam dosa pengumbaran hawa nafsu,
sebenarnya kita sedang menutupi borok kita sendiri?

Nasihat Amsal di bagian pertama perikop ini menekankan kedua hal tersebut. Yang pertama, penguasaan diri. Di hadapan orang yang lebih tinggi statusnya, kita harus menjaga sikap tidak mengumbar nafsu (ayat 1-3). Kedua, pada saat yang sama motivasi untuk tidak mengejar hal lahiriah juga ditekankan (ayat 4-5). Bukankah karena mengejar hal-hal lahiriah seperti inilah kita sering terjebak dengan iri hati bahkan dengki akan keberuntungan orang lain (ayat 6-8). Tidak jarang kita memutuskan untuk bersikap seperti orang fasik agar dapat mencapai kehidupan yang berkelimpahan.

Amsal menasihati kita untuk melawan sikap mementingkan diri sendiri dengan berpegang pada Taurat, membangun rasa peduli dan keadilan kepada sesama manusia, terutama mereka yang tertindas (ayat 10-11, band. Ul. 27:17, 19). Izinkan Tuhan mendidik kita mengembangkan karakter yang mulia (ayat 12). Kita juga perlu mendidik anak-anak kita agar karakter mereka menyerupai Kristus. Pendidikan seperti itu perlu dilakukan dengan tekun dan disiplin (ayat 13-14). Hasilnya akan efektif bila kita sendiri rela dibentuk oleh Tuhan terlebih dahulu, sehingga anak-anak kita melihat teladan.

Kita sering geli campur dongkol melihat sikap \'pencuri teriak maling\' yang dilakukan oknum, entah wakil rakyat atau juga pejabat. Mereka mudah menuduh orang lain dan menyerukan \"ganyang korupsi!\" Pada saat yang sama, mereka memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau golongan mereka. Jangan-jangan hal serupa terjadi dalam hidup kita. Kita mengaku anak Tuhan, menuding orang lain hidup dalam dosa pengumbaran hawa nafsu, sebenarnya kita sedang menutupi borok kita sendiri?

", "http://www.su-indonesia.org/images/santapanHarian/3744-t.jpg", 520, 350)'>
Scripture Union Indonesia © 2017.