Tolak standar ganda!

Galatia 2:11-21


Joni adalah salah seorang simpatisan Kristen yang akhirnya
menolak untuk dibaptiskan karena melihat kelakuan dari seorang
pemimpin Kristen. "Munafik," ujar Joni ketika ditanyakan
alasannya. Lanjutnya, "Dia berkata Yesus mengasihi tanpa
membeda-bedakan suku, bangsa, ras, dan bahasa. Namun, ia
(menyebut nama pemimpin itu) menghina suku kami sebagai suku
yang rendah dan tidak pantas beribadah di gerejanya."


Sungguh menyedihkan, sikap yang dilihat Joni dan yang menjadi
penyebab ia mundur dari memercayai Yesus, justru diperlihatkan
oleh Petrus (ayat 12). Petrus masih menganggap tradisi Yahudi
(=sunat) lebih penting daripada Injil. Sebaliknya Paulus
menyatakan konsistensi imannya dengan berani menegor keras dan
terbuka kepada Petrus yang tergolong seniornya (ayat 11,14).
Pertama, hukum Taurat tidak dapat menyelamatkan manusia berdosa.
Hanya kasih karunia dalam Kristus yang membenarkan seseorang.
Kasih karunia dalam Kristus inilah yang mengubah inti kehidupan
orang yang percaya. Hidup Kristus ada di dalam hidupnya (ayat
16-20). Kedua, sikap Petrus sebagai salah seorang pemimpin
gereja mempengaruhi orang-orang lain sehingga mereka juga
terseret dalam kemunafikannya (ayat 13). Kalau hal ini dibiarkan
dapat mengacaukan dan merusak persekutuan Injil yang sudah
Paulus rintis dan bina selama ini di Antiokhia.


Gereja harus menyadari bahwa peran penting mereka dalam pemberitaan
Injil bukan hanya dengan menjadi juru bicara Tuhan, tetapi juga
dengan menyaksikan kasih Allah melalui kehidupan. Pertama,
gereja harus menolak segala ajaran yang menegakkan peraturan
atau tradisi tertentu lebih tinggi daripada ajaran kasih
karunia. Kedua, gereja harus mendidik umat Tuhan untuk tidak
bersikap membeda-bedakan suku, bahasa, status sosial,
pendidikan, dll. Sikap antidiskriminasi ini harus dimulai dari
para pemimpin gereja!


Camkan:
Jangan rusak kesaksian Injil kasih Allah dengan tindakan
diskriminatif umat Allah.

Scripture Union Indonesia © 2017.