Pemberontakan.

Yesaya 1:1-17
Minggu ke-18 sesudah Pentakosta

Ketika tulisan ini dibuat, keadaan di Nangroe Aceh Darussalam
sedang begitu memprihatinkan. Ratusan sekolah dibakar, dan
pertikaian antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan pemerintah RI
terus memanas. Semua pihak mengharapkan agar pertikaian ini
segera berakhir. Namun, bila kita bercermin diri, ternyata
menyingkirkan pemberontakan tidak semudah membalikkan telapak
tangan.


Kitab Yesaya dimulai dengan suasana yang panas, juga suasana
pemberontakan. Yehuda sebagai umat Allah memberontak terhadap
Yahweh, Allah yang mengasihi mereka. Mereka lebih mempercayai
pertolongan Asyur daripada Yahweh. Pemberontakan politis ini
sebenarnya berakar dalam pemberontakan yang sifatnya spiritual.


Dalam ayat 1, ada 4 raja yang disebutkan. Namun, hanya Ahas dan
Hizkia yang penting diperhatikan. Ahas mewakili posisi raja yang
lemah dan cenderung tidak setia. Anaknya, Hizkia, mewakili posisi
sebaliknya: orang yang dapat dipercaya dan menaati Allah. Dalam
jatuh-bangun Yehuda inilah Yesaya muncul sebagai nabi, yang
berdasarkan penglihatan surgawi, menyerukan penghakiman bagi
Yehuda. Penghakiman tersebut datang karena Israel berdosa dan
memberontak (ayat 4-5). Meskipun Yahweh adalah Allah yang dekat
dan intim dengan umat-Nya, Ia tak dapat melihat kemunafikan dan
kenajisan manusia. Dalam kehidupan pribadi dan publik, tidak ada
yang benar sama sekali dalam kehidupan bangsa Yehuda, semuanya
seperti borok. Allah menjatuhkan hukuman-Nya kepada Yehuda dengan
memutuskan untuk tidak lagi menerima ibadah di Bait Allah karena
dijalankan dengan rutinitas dan tanpa makna (ayat 11-15). Padahal
ibadah Yehuda seharusnya diwujudkan secara total dan serius
melalui pertobatan dalam hidup keseharian mereka.


Renungkan:
Selidiki hidup Anda. Adakah hal-hal yang melawan Tuhan yang masih
Anda sembunyikan? Buanglah dan minta Dia menyucikanmu sebelum
murka-Nya datang menghukum Anda.

Scripture Union Indonesia © 2017.