Aduh, dadaku, dadaku!

Yeremia 4:5-21
Minggu ke-11 sesudah Pentakosta

Musuh dahsyat yang akan membawa kehancuran bagi bangsa Yehuda
sudah di ambang pintu (7, 11-13). Itu merupakan penghukuman
Allah atas bangsa Yehuda yang tetap tidak mau bertobat walaupun
telah berkali-kali Allah memperingatkan mereka (8, 17-18).


Yeremia menggunakan berbagai macam cara dan ungkapan perasaan serta
emosi untuk menyampaikan bagaimana dahsyatnya penghukuman bagi
bangsa Yehuda. Ia memberitahukan, mengabarkan, meniup sangkakala,
dan berseru keras-keras (5). Ia menangisi, meratapi ('aduh,
dadaku, dadaku!'), dan menggeliat kesakitan hingga tidak dapat
berdiam diri karena rentetan gelombang kehancuran dahsyat yang
akan terjadi akibat dosa-dosa bangsa Yehuda (19-20).


Apa yang telah dilakukan Yeremia memberi teladan bagi kita bahwa ia
tidak menunjukkan sikap merasa paling suci, paling benar lalu
menghakimi sebuah bangsa yang memang sudah sarat dengan dosa-dosa
yang menjijikkan. Sebaliknya Yeremia, seperti Paulus dan Yesus
Kristus, menangisi dosa-dosa bangsanya, mengidentifikasikan
dirinya dengan mereka yang akan menerima konsekuensi dosa dan
tetap tinggal bersama bangsanya ketika mereka akan menghadapi
segala bencana kehancuran (5, 19 bdk. Luk. 19:41-44 dan
Flp. 3:18).


Bagaimana kita sekarang meresponi dosa-dosa yang terjadi dalam
masyarakat serta konsekuensinya? Harus kita akui bahwa sikap kita
sangat jauh berbeda dengan Yeremia. Kita seringkali membuat jarak
sehingga meresponi semua itu dari jauh. Kita mungkin melakukannya
secara profesional dengan menyediakan waktu konseling, terapi,
ataupun mendirikan yayasan-yayasan. Itu semua memang berguna dan
penting pada saat menghadapi situasi tegang dan krisis, pada saat
mengalami ketidakadilan dan kekerasan. Namun kedekatan dan
kehadiran kita di dalam hidup mereka, doa, solidaritas, dan
perhatian tidak dapat dan tidak mungkin digantikan dengan
cara-cara profesional tadi.


Renungkan:
Sejauh manakah keterlibatan kita dalam menggumuli keterpurukan
bangsa kita? Apakah kita pun memiliki hati seperti Yeremia yang
mau mengidentifikasikan dirinya dengan bangsanya? Tidak ada solusi
konkrit tanpa keterlibatan nyata melalui kehadiran kita dalam
hidup bangsa kita.

Apa yang telah dilakukan Yeremia memberi teladan bagi kita bahwa ia tidak menunjukkan sikap merasa paling suci, paling benar lalu menghakimi sebuah bangsa yang memang sudah sarat dengan dosa-dosa yang menjijikkan. Sebaliknya Yeremia, seperti Paulus dan Yesus Kristus, menangisi dosa-dosa bangsanya, mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang akan menerima konsekuensi dosa dan tetap tinggal bersama bangsanya ketika mereka akan menghadapi segala bencana kehancuran (5, 19 bdk. Luk. 19:41-44 dan Flp. 3:18).

Bagaimana kita sekarang meresponi dosa-dosa yang terjadi dalam masyarakat serta konsekuensinya? Harus kita akui bahwa sikap kita sangat jauh berbeda dengan Yeremia. Kita seringkali membuat jarak sehingga meresponi semua itu dari jauh. Kita mungkin melakukannya secara profesional dengan menyediakan waktu konseling, terapi, ataupun mendirikan yayasan-yayasan. Itu semua memang berguna dan penting pada saat menghadapi situasi tegang dan krisis, pada saat mengalami ketidakadilan dan kekerasan. Namun kedekatan dan kehadiran kita di dalam hidup mereka, doa, solidaritas, dan perhatian tidak dapat dan tidak mungkin digantikan dengan cara-cara profesional tadi.

Renungkan: Sejauh manakah keterlibatan kita dalam menggumuli keterpurukan bangsa kita? Apakah kita pun memiliki hati seperti Yeremia yang mau mengidentifikasikan dirinya dengan bangsanya? Tidak ada solusi konkrit tanpa keterlibatan nyata melalui kehadiran kita dalam hidup bangsa kita.

", "http://www.su-indonesia.org/images/santapanHarian/1121-t.jpg", 520, 350)'>
Scripture Union Indonesia © 2017.